Bismillahirrahmanirrahim,
Anak adalah mahluk sosial yang memiliki perasaan, kehendak serta pikirannya sendiri layaknya kita orang dewasa. Ia membutuhkan pemeliharaan serta kasih sayang agar apa yang ia rasa dan pikirkan memiliki ruang untuk berkembang dengan baik di setiap fase perkembangan yang ia lewati.
Sebagai mahluk sosial yang melakukan interaksi dengan lingkungannya, anak-anak kerap mengalami permasalahan yang tidak se-sinergi dengan orang tua hingga muncullah berbagai labelitas yang di tempel pada anak-anak yang dianggap bermasalah itu versi sudut pandang orang dewasa.
Ada lima masalah populer anak yang sering menjadi ‘penghalang’ konsensus antara mereka dan orang tua. Diantaranya adalah Anak Membangkang, Anak Pemarah, Anak Pemalas, Anak Egois, Anak Pengeluh. Kerap kali ‘senjata’ yang mereka keluarkan saat tidak menemui jalan terhadap apa yang mereka rasa dan pikirkan adalah Menangis dan Merengek, Marah, Mengancam, Mencari belas kasihan, Menjilat, Taktik Fisik.
Mungkin hampir dari kita semua mengalami hal ini saat mencoba ‘negosasi’ dengan makhluk sosial kecil yang satu ini. ‘Bahasa’ yang mereka sampaikan melalui senjata-senjata itu adalah terjemahan bahwa mereka ingin diakui sebagai makhluk sosial yang memiliki rasa dan pikiran sendiri. Dan lebih serunya lagi, mereka belajar menggunakan senjata-senjata itu dari lingkungan terdekat tempat mereka menghabiskan waktu sehari-hari. Bisa dari sekolah, bisa dari tontonan dan lingkungan permainan sekitar rumah, atau bahkan yang lebih ekstrim mereka dapatkan dari kedua orang tuanya sendiri.
Oleh karenanya sebelum kita bertanya mengapa ia menjadi sangat tidak koperatif seperti itu, ada baiknya kita memikirkan bagaimana perilaku-perilaku itu bisa terbentuk dengan sebegitu kuatnya? Anak burung bisa terbang tidak terjadi seketika. Ia melakukannya hingga mahir karena ada proses peniruan, berlatih dan berulang-ulang dilakukan atas bimbingan induknya. Setelah mahir, ia menjadi percaya bahwa kemampuan terbang itu merupakan keahlian yang ia miliki. Apalagi jika sang induk memberinya reward berupa motivasi, persetujuan dan kasih sayang agar ia terus melakukan kehalian tersebut.
Begitupun dengan anak-anak yang terbiasa marah, malas, egois, membangkang serta mengeluh. Jika hal ini biasa mereka lakukan, bisa jadi itu karena mereka percaya bahwa hal-hal tersebut merupakan keahlian yang mereka miliki untuk dapat berkomunikasi dengan orang lain diluar dirinya. Keahlian terbentuk karena kebiasaan sekaligus kesadaran bahwa hal tersebut ‘baik’ bagi dirinya serta adanya pembiaran dari orang-orang sekitarnya.
Jika kita sebagai orang tua telah merasa berusaha memperbaiki kebiasaan tersebut, mari kita sama-sama mengecek kembali apakah cara-cara kita memperbaikinya sudah dengan usaha yang maksimal. Jika mereka begitu bersemangat untuk bertahan memiliki keahlian-keahlian tersebut, maka mengapa terkadang kita kalah semangat untuk mencari cara agar mereka segera merubah cara berkomunikasinya itu dengan keahlian yang lebih baik dan nyaman untuk semua pihak.
Jika ia mendapatkan keahlian tersebut dari luar rumah, lebih mudah bagi kita untuk memperbaikinya dengan syarat kita hadir menemani mereka di saat-saat penting mereka seperti ketika mereka sedang sedih, gembira, marah, malu dan takut. Dampingi mereka di waktu-waktu tersebut agar dapat menumbuhkan rasa percaya diri dan rasa diterima serta dihargai sebagai makhluk sosial yang memiliki rasa, kehendan dan pikiran sendiri. Pendampingan ini adalah penting jika kita ingin memperbaiki ketidaksinergian antara kita dan mereka.
Namun, jika perilaku/keahlian tersebut didapatkan dari rumah khusunya dari kedua orang tuanya, maka langkah pertama yang harus kita lakukan adalah memperbaiki diri kita sendiri terlebih dahulu. Ambil jeda untuk merenung kembali tujuan kita berumah tangga serta berusaha dengan maksimal untuk berdamai dengan diri sendiri. Tanyakan pada diri, apa yang melandasi diri kita kerap melakukan hal yang sama dengan yang anak-anak lakukan? Apakah masih ada kekecewaan masa lampau yang belum termaafkan hingga perilaku ini masih saja menempel pada diri kita yang kemudian kita tularkan pada anak-anak kita? lakukan dialog yang serius antara diri kita sendiri dengan hati kecil agar mau memaafkan seluruh perasaan tidak nyaman, kekecewaan serta kemarahan yang masih tertinggal karena berbagai hal di masa lalu. Lakukan berkali-kali selama yang kita butuhkan dengan memunculkan kesadaran ingin menjadi orang yang lebih baik lagi sebelum usia di dunia ini selesai. Hadirkan Sang Pencipta Yang Maha Esa dalam dialog-dialog tersebut agar kita diberi kemampuan dan kekuatan untuk berdamai dengan diri sendiri.
Semoga jika telah selesai dengan diri kita sendiri, semua kondis tak terkendali yang ada pada anak-anak kita dapat teratasi dan kita bisa memulai dengan melakukan hal-hal sebagai berikut:
– Memenuhi hak anak
– Menyamakan frekuensi
– Tatap mata yang terjaga
– Berani berkata “tidak” & konsisten
– Sepakat dengan reward dan punishmet
– Logika ”boleh… Tapi…” (sebagai metode ampuh membuat kesepakatan)
Kita juga dapat melakukan teknik 3M untuk menciptakan kerekatan dengan anak-anak, yaitu:
1. Mari tinggalkan gadget sejenak
2. Mari berbicara dari hati ke hati
3. Mari ciptakan waktu berkualitas
Anak-anak yang memiliki kerekatan dengan orang tuanya akan merasakan rumah menjadi surga pertamanya sebelum meraih surga sesungguhnya kelak. Oleh karenanya menjaga kondisi rumah agar tetap menyenangkan dapat dilakuka dengan cara:
1. Membicarakan Allah di setiap kesempatan
2. Beribadah bersama-sama
3. Harmonisasi hub ayah dan bunda
4. Buat permainan yang melibatkan semua anggota keluarga
5. Buat jadwal kegiatan bersama secara rutin dan laksanakan dengan konsisten
6. Cari tahu minat dan bakat anak, lalu fasilitasi
Mari kita renungkan bersama puisi indah di bawah ini:
Anak Belajar Dari Kehidupannya
(Dorothy Law Nolte, Ph.D)
Jika anak hidup dengan celaan, ia belajar memaki
Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar melawan
Jika anak hidup dengan ketakutan, ia belajar gelisah
Jika anak dibesarkan dengan rasa iba, ia belajar menyesali diri
Jika anak hidup dengan olok-olok, ia belajar rendah diri
Jika anak hidup dengan iri hati, ia belajar kedengkian
Jika anak hidup dengan rasa malu, ia belajar merasa bersalah
Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri
Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri
Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai
Jika anak dibesarkan dengan penerimaan, ia belajar mencintai
Jika anak hidup dengan dukungan, ia belajar menyukai diri mereka sendiri
Jika anak hidup dengan pengakuan, ia belajar memiliki tujuan
Jika anak dibesarkan dengan rasa berbagi, ia belajar kedermawaan
Jika anak hidup dengan kejujuran dan keterbukaan, ia belajar kebenaran dan keadilan
Jika anak dibesarkan dengan kebaikan dan pertimbangan, ia belajar menghargai
Jika anak hidup dengan keamanan, ia belajar untuk memiliki iman dalam diri mereka
Jika anak hidup dengan keramahan, ia belajar bahwa dunia adalah tempat yang bagus untuk hidup
Wallahu’alam Bishowab
(gkw)
#Parenting