Jika Kau Punya Satu Kesempatan untuk Kembali, Akankah Kau Gunakan? – Refleksi dari Novel Funiculi Funicula

Penulis: Natanael Ersa Yulianto

Ada kalanya sebuah buku tidak hadir untuk membuat kita berpikir keras, melainkan untuk membuat kita berhenti sejenak dan merasakan. Funiculi Funicula atau Before the Coffee Gets Cold karya Toshikazu Kawaguchi adalah salah satu karya yang menawarkan ruang untuk merenungi hal-hal yang pernah hilang, hal-hal yang belum selesai, dan kata-kata yang masih ingin kita ucapkan tetapi sudah terlambat.

Diterbitkan pertama kali pada tahun 2015 dan kemudian diterjemahkan ke berbagai bahasa, termasuk Indonesia, novel ini membangun kisah sederhana tetapi emosional dengan latar utama sebuah kafe kecil bernama Funiculi Funicula di Jepang. Kesannya terdengar fantastis “Seseorang dapat kembali ke masa lalu,” namun untuk melakukannya ada aturan-aturan ketat yang harus dipatuhi. Aturan tersebut membuat perjalanan waktu dalam cerita ini terasa bukan sebagai mekanisme ajaib, melainkan sebagai sesuatu yang sakral dan sangat terbatas, sebuah kesempatan yang tidak boleh disia-siakan.

 

 

 

 

 

 

 

 

Judul: Funiculi Funicula (Kōhī Ga Samenai Uchi Ni—Before the Coffee Gets Cold)

Penulis: Toshikazu Kawaguchi

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

Tahun Terbit: 21 April 2021

Jumlah Halaman: 224

ISBN: 9786020651927

Genre: Fiksi, Drama, Fantasi

Sejak awal, pembaca akan menyadari bahwa novel ini bukan sekadar tentang perjalanan waktu. Ia adalah perjalanan batin. Cerita dibangun melalui empat kisah tokoh berbeda yang saling terhubung. Meski memiliki latar belakang dan konflik yang tak serupa, mereka dipertemukan oleh satu hal, yaitu keinginan untuk memperbaiki sesuatu dari masa lalu. Namun, sebagaimana ditegaskan berkali-kali dalam novel ini, kembali ke masa lalu tidak akan mengubah masa kini. Inilah fondasi moral yang membuat novel ini berbeda dari kisah fantasi perjalanan waktu pada umumnya. Yang berubah bukan waktu, melainkan manusia yang akhirnya berani berdamai dengan luka dan penyesalannya sendiri.

Empat kisah tersebut menggambarkan berbagai bentuk hubungan seperti cinta yang renggang, kesalahpahaman dalam keluarga yang tak pernah diucapkan, keakraban yang tergeser waktu, hingga perpisahan yang tidak sempat dipersiapkan. Setiap tokoh menjalani perjalanan emosional yang menyakitkan sekaligus memulihkan. Mereka tidak kembali untuk mengubah takdir, tetapi untuk mendapatkan jawaban, penutupan, atau keberanian untuk melanjutkan hidup. Tema besar yang mendasari keseluruhan cerita ini adalah “penyesalan,” sesuatu yang begitu manusiawi dan mungkin pernah dirasakan oleh setiap pembaca.

Namun, Kawaguchi tidak menyajikan kisah ini dengan melodrama berlebihan. Ia membangun suasana dengan tenang, seperti percakapan lirih di ruangan remang tanpa urgensi yang memaksa. Pesan moral paling kuat dari buku ini dapat dirangkum dalam satu pemahaman sederhana: kita tidak selalu diberi kesempatan untuk memperbaiki masa lalu, tetapi kita selalu memiliki kemungkinan untuk memperbaiki diri hari ini.

Novel ini juga menyentuh isu-isu lebih dalam seperti kehilangan, kematian, trauma emosional, dan keterlambatan dalam mengungkapkan cinta. Namun alih-alih memberikan jawaban yang final, buku ini justru menawarkan pertanyaan yang terasa personal. Pertanyaan yang hanya dapat dijawab oleh pengalaman dan kesediaan pembaca untuk jujur pada dirinya sendiri. Walaupun tokoh-tokohnya tampak biasa(pelayan kafe, pelanggan, pasangan kekasih, saudara, atau sahabat lama) mereka tidak digambarkan secara datar. Kawaguchi memberi mereka latar emosional yang cukup dalam sehingga pembaca dapat merasakan beban batin yang mereka bawa.

Karakter pendukung seperti Kazu, sang pelayan kafe yang menjaga aturan perjalanan waktu, justru menjadi poros emosional yang membuat cerita ini hidup. Ia jarang menunjukkan ekspresi atau komentar, tetapi diam-diam ia menjadi saksi dari begitu banyak kisah manusia yang datang bukan untuk minum kopi, melainkan untuk menghadapi sesuatu yang selama ini mereka hindari.

Atmosfer novel ini adalah salah satu daya tarik terbesarnya. Kafe Funiculi Funicula terasa seperti ruang hening dengan cahaya lampu kuning yang lembut, aroma kopi panas, dan waktu yang berjalan lebih pelan dibanding dunia di luar pintunya. Gaya bahasa Kawaguchi sederhana, tidak rumit, dan cenderung minimalis. Kalimat-kalimatnya tidak mencoba tampil indah, tetapi menyampaikan perasaan melalui keheningan, jeda, dan detail kecil yang justru membangun kedalaman.

Dalam beberapa bagian, gaya ini mungkin terasa lambat atau terlalu tenang. Namun justru ritme itulah yang membuat buku ini terasa seperti meditasi: lembut, hening, dan perlahan-lahan menyentuh bagian dalam pembaca yang jarang disentuh oleh bacaan lain.

Pada akhirnya, Funiculi Funicula bukan novel yang hadir untuk memecahkan misteri atau memicu adrenalin. Ia hadir untuk mengajak pembacanya duduk sebentar, menyesap pelan-pelan, dan mengingat sesuatu yang pernah hilang atau tertinggal. Novel ini lembut tetapi menancap, sederhana tetapi penuh makna, emosional tetapi tidak mendramatisasi. Menutup halaman terakhirnya, pembaca akan merasakan bahwa waktu meskipun kejam sering kali juga menjadi penyembuh.

Novel ini mengingatkan kita pada satu pertanyaan yang diam-diam bergema bahkan setelah selesai membaca:

Jika diberikan kesempatan kembali, bukan untuk mengubah apa pun, tetapi hanya untuk mengatakan sesuatu apakah kita mau melakukannya?

 

Lihat Juga

Ramadhan

Rindu Yang Menguatkan

CAHYALOKA.COM – Tujuh hari sudah tersambung helai-helai Ramadhan. Terlihat semangat kita kembali pada kondisi standar …