Dari Rasyid bin Hubais, Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam menemui ‘Ubadah bin Shamit untuk menjenguknya ketika dia sakit. Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam bersabda: “Apakah kalian tahu, siapa yang diistilahkan syahid di antara umatku?” Semua terdiam. ‘Ubadah berkata; “Sandarkanlah saya”, mereka pun menyandarkannya. Lalu Ubadah berkata; “Wahai Rasulullah, yang dinamakan syahid adalah orang sabar yang mengharapkan balasan dari Allah”. Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam bersabda: “Kalau begitu orang yang syahid dari ummatku sangat sedikit, padahal orang yang terbunuh di jalan Allah Azzawajalla adalah syahid, orang yang mati terkena wabah adalah syahid, orang mati tenggelam adalah syahid, orang yang mati karena sakit perut adalah syahid, wanita yang meninggal karena melahirkan anaknya, anaknya menariknya dengan tali pusar untuk masuk ke surga”. (H.R. Ahmad)
Lafadz yang berbunyi;
“Wanita yang meninggal karena melahirkan anaknya, anaknya menariknya dengan tali pusar untuk masuk ke surga”
Lafadz ini menunjukkan wanita yang mati karena nifas, yakni setelah melahirkan anak mendapatkan pahala mati syahid sebagaimana orang yang mati karena wabah, tenggelam, dan sakit perut. Wanita yang mati karena nifas akan digandeng anaknya menuju surga.
Hadis lain yang menunjukkan adalah riwayat An-Nasai berikut ini;
Dari ‘Uqbah bin Amir bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Lima hal yang jika seseorang mati pada sebagian darinya maka ia syahid, yaitu orang yang terbunuh dijalan Allah adalah orang yang syahid, orang yang tenggelam dijalan Allah adalah orang yang syahid, orang yang sakit perut dijalan Allah adalah orang yang syahid, orang yang terkena terkena sakit pes dijalan Allah adalah orang yang syahid, dan orang yang mati ketika melahirkan di jalan Allah adalah orang yang syahid.” (H.R. An-Nasai)
Hadis ini lebih lugas menjelaskan bahwa wanita yang wafat karena nifas, yakni setelah melahirkan anak maka dia dihitung syuhada’.
Hadis lain yang menunjukkan adalah riwayat Abu Dawud berikut ini;
Dari ‘Atik bin Al Harits bin ‘Atik ia adalah kakek Abdullah bin Abdullah ayah ibunya, bahwa ia telah mengabarkan kepadanya bahwa pamannya yaitu Jabir bin ‘Atik telah mengabarkan kepadanya bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam datang mengunjungi Abdullah bin Tsabit, lalu beliau mendapatinya telah parah sakitnya, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memanggilnya dan Abdullah tidak menjawab panggilan beliau. Lalu mengucapkan istirja’ (INNAALILLAAHI WA INNAA ILAIHI RAAJI’UUN), beliau berkata: “Taqdirmu telah mendahului kami wahai Abu Ar Rabi’! kemudian para wanita berteriak dan menangis, lalu Ibnu ‘Atik mendiamkan mereka.
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Biarkan mereka, seandainya ia telah ‘wajab’ maka janganlah ada seorang wanita yang menangis!” Mereka bertanya; apakah ‘wajab’ itu wahai Rasulullah? Beliau bersabda: “Meninggal dunia.” Anak wanitanya berkata; demi Allah, sungguh aku berharap kamu (doa untuk sang ayah) menjadi orang yang syahid. Sungguh engkau telah menyelesaikan persiapan (perang) mu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah ‘azza wajalla telah memberikannya pahala sesuai dengan niatnya. Apakah yang kalian anggap sebagai mati syahid?” Mereka berkata; terbunuh di jalan Allah ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Mati syahid selain terbunuh di jalan Allah ada tujuh, yaitu: orang yang meninggal karena terkena penyakit tha’un (sampar, pes) adalah syahid, orang yang mati tenggelam adalah syahid, orang yang meninggal karena sakit radang selaput dada adalah syahid, orang meninggal karena sakit perut adalah syahid, orang yang terbakar adalah syahid, dan orang yang meninggal terkena reruntuhan adalah syahid, serta seorang wanita yang meninggal karena Jum’in adalah syahid.”
Ibnu Hajar menerangkan bahwa wanita yang mati karena Jum’in maksudnya adalah mati setelah melahirkan di nifas. Ibnu hajar berkata;
Adapun wanita yang wafat karena Jum’in maka cara membaca huruf Jim, Mim, ‘Ain tersebut adalah dengan mendhommahkan Jim dan mensukunkan Mim. Bisa juga Jimnya diFathah atau dikasroh, maksudnya adalah wanita-wanita yang bernifas. (Fathu Al-Bary, vol.6, hlm 43)
An-Nawawy memberikan penafsiran semakna dalam syarahnya. Beliau berkata;
Adapun wanita yang wafat karena Jum’in maka cara membaca huruf Jim, Mim, ‘Ain tersebut adalah dengan mendhommahkan Jim atau memfathahkannya atau mengkasrohkannya, namun mendhommahkan lebih populer. Maksudnya adalah wanita yang wafat dalam keadaan hamil yang menghimpun janin dalam perutnya. (Fathu Al-Bary, vol.6, hlm 43)
Lafadz dalam hadis ini secara bahasa memungkinkan pula difahami bahwa maksudnya adalah #Perempuan yang masih gadis/perawan dan mati sebelum sempat menikah. Jika penafsiran ini yang diambil, maka gadis/perawan yang wafat sebelum sempat menikah juga mendapatkan pahala mati syahid. Namun umumnya ulama menguatkan penafsiran yang pertama karena itulah yang lebih masyhur, yakni yang dimaksud Rasulullah صلى الله عليه وسلم adalah wanita yang mati karena nifas/melahirkan anak/hamil.
Hadis yang semakna dengan apa yang diriwayatkan Abu Dawud diriwayatkan pula oleh ibnu Majah. Beliau meriwayatkan;
Dari Abdullah bin Abdullah bin Jabri bin ‘Atik dari Ayahnya dari Kakeknya bahwa ia sedang sakit, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam datang untuk menjenguknya, seseorang dari keluarganya berkata; “Kami mengharapkan agar kematiannya dengan terbunuh secara syahid di jalan Allah.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jika demikian umatku yang mati syahid hanya sedikit, seseorang yang terbunuh di jalan Allah adalah orang yang mati syahid, penderita lepra mati syahid, wanita yang meninggal dunia karena melahirkan juga syahid, orang yang mati tenggelam, kebakaran dan orang yang menderita selaput dada juga adalah syahid.” (H.R. Ibnu Majah)
Demikian pula An-Nasai;
Dari Abdullah bin Abdillah bin Jabar dari ayahnya bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kembali, kemudian tatkala beliau masuk maka beliau mendengar para wanita menangis, dan mereka berkata; kami mengira anda meninggal karena terbunuh di jalan Allah. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidaklah kalian menganggap syahid kecuali orang yang terbunuh di jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang syahid kalian jika demikian sungguh sedikit. Terbunuh di jalan Allah adalah syahid, meniggal karena sakit perut adalah syahid, terbakar adalah syahid, tenggelam adalah syahid, orang yang tertimpa reruntuhan adalah syahid, orang yang mati karena gila adalah syahid, wanita yang meninggal karena melahirkan adalah syahid.” Seorang laki-laki berkata; apakah kalian menangis sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sedang duduk? Beliau bersabda: “Biarkan mereka, apabila telah meninggal maka tidak boleh ada seorang wanitapun yang menangisinya.” (H.R. An-Nasai)
Semua dalil di atas menunjukkan bahwa wanita yang wafat karena hamil, atau melahirkan, atau nifas semuanya bisa diharapkan mendapatkan pahala mati syahid.
Namun syahid yang dimaksud di sini adalah syahid akhirat saja, bukan syahid dunia-akhirat. Hal itu dikarenakan mati Syahid ada tiga macam; Syahid dunia Akhirat, Syahid Akhirat saja, dan Syahid dunia saja. Syahid dunia Akhirat adalah Muslim yang gugur di medan perang/Jihad untuk meninggikan Kalimatullah. Syahid golongan ini tidak dimandikan dan tidak dishalati, tapi langsung dikebumikan dengan darah yang ada padanya dengan pakaian yang dikenakannya.
Syahid Akhirat saja adalah orang-orang yang wafat karena sebab-sebab yang dinyatakan oleh Nash seperti sakit perut/diare, tertimpa reruntuhan, terbakar, tenggelam, atau melahirkan, sehingga mendapatkan pahala mati Syahid, namun tetap diperlakukan seperti mayat Muslim pada umumnya, yakni dimandikan, dan dishalati.
Syahid dunia saja bermakna orang yang gugur dalam Jihad tetapi niat Jihadnya bukan karena Allah, seperti berjihad karena Riya’, Sum’ah, mendapat Ghonimah dan lainnya. Syahid golongan ini diperlakukan seperti Syahid dunia akhirat dari segi tidak dimandikan dan tidak dishalati, tetapi di Akhirat tidak mendapatkan apa-apa.
Disyaratkan pula hendaknya dia memenuhi syarat-syarat diperolehnya pahala mati Syahid seperti; Muslim, Shobr (tabah/tegar) saat menghadapi musibah tersebut, dan Ihtisab (mengharap pahala). Dia juga harus menghindari hal-hal yang menghalangi diperolehnya pahala mati Syahid seperti hutang, Ghulul (korupsi Ghanimah), merampas hak orang, atau mati dalam kondisi bermaksiat.
Terkait syarat Muslim, hal itu dikarenakan pembicaraan pahala mati Syahid memang hanya terkait dengan kaum Muslimin saja, bukan orang Kafir. Orang Kafir yang mati dalam keadaan Kafir dengan cara apapun dia mati tempatnya di neraka. Lagipula Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam ketika membicarakan mati Syahid, beliau sedang membicarakan umatnya, yaitu umat islam. Penyebutan Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam tentang macam-macam mati Syahid dikalangan umatnya menunjukkan bahwa yang berhak mendapatkan pahala mati Syahid hanyalah kaum Muslimin saja. Imam Muslim meriwayatkan;
Dari Abu Hurairah dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Apa yang dimaksud orang yang mati Syahid di antara kalian?” para sahabat menjawab, “Wahai Rasulullah, orang yang meninggal karena berjuang di jalan Allah itulah orang yang mati Syahid.” Beliau bersabda: “Kalau begitu, sedikit sekali jumlah ummatku yang mati syahid.” (H.R.Muslim)
Disyaratkan pula shobr (ketabahan) dan Ihtisab (mengharap pahala) untuk mendapatkan pahala mati Syahid. Artinya, jika seorang muslimah saat melahirkan yang membuatnya wafat itu tidak Shobr, misalnya dengan memaki-maki ketentuan Allah, tidak rela, dan berkeluh kesah maka dia tidak berhak mendapatkan janji tersebut. Demikian pula jika dia tidak melakukan Ihtisab, misalnya saat musibah menunjukkan ketegaran agar terkenal dikalangan manusia, maka dia juga tidak mendapatkan janji. Dalil bahwa Shobr dan Ihtisab adalah Syarat mendapatkan ganjaran mati Syahid adalah hadis berikut;
Dari Abu Hurairah, dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri dan berkhutbah di hadapan manusia, lalu beliau mengingatkan bahwa beriman kepada Allah dan jihad fi sabilillah adalah amalan yang paling utama di sisi Allah, ” Abu Hurairah berkata; Lalu seorang laki-laki berdiri dan berkata; “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu jika aku terbunuh di jalan Allah kemudian aku Shobr dan Ihtisab, aku berperang dibarisan depan dan tidak melarikan diri, apakah Allah akan menghapuskan dosa-dosaku?” Beliau menjawab: “Benar.” (H.R. Ahmad)
Adapun dosa, maka tidak ada manusia yang tidak berdosa dan dosa tidak bisa menghalangi diperolehnya ganjaran mati Syahid kecuali yang dinyatakan nash. Contoh diantara dosa yang tidak diampuni dengan mati Syahid hutang. Imam Muslim meriwayatkan;
Dari Abdullah bin ‘Amru bin ‘Ash, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Seorang yang mati Syahid akan diampuni segala dosa-dosanya kecuali hutang.” (H.R. Muslim)
Demikian pula dosa-dosa lain yang dinyatakan nash seperti ghulul (korupsi ghanimah), merampas hak orang lain, mati dijalan maksiat (seperti mau berzina kemudian terbakar) dll. Imam Assubki dalam Fatawi As-Subki memaparkan cukup luas syarat-syarat agar seseorang bisa mendapatkan pahala mati Syahid.
Macam-macam orang yang bisa digolongkan dalam mati syahid akhirat saja tidak terbatas pada 5 macam saja, tidak pula 7, 8, 11 dst. Menurut Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, berdasarkan riwayat-riwayat yang bisa diterima, Muslim yang berhak mendapat pahala mati syahid karena sebab tertentu jumlahnya lebih dari 20 macam. Wallahua’lam. (si)