CAHYALOKA.COM – Dadaku bergemuruh menyaksikan kaum Muslimin yang sedang shalat di sekeliling Ka’bah. Apa yang terjadi dengan qolbu-ku? Mengapa rasanya begitu berbeda seperti sebelumnya? Lelaki itu, Muhammad, lelaki yang memimpin kaum Muslimin melaksanakan sujud di Ka’bah, aku membencinya dengan segenap jiwa ragaku. Tapi hari ini, setelah ku saksikan semua ini, aku menyangkal rasa benci itu. Mengapa rasanya aku ingin turut bersama mereka? Apa ini yang sudah dirasakan suamiku sehari sebelumnya? Bergemuruh jugakah seperti diriku? Aku malu. Aku takut. Tapi aku juga ingin merasakan kegembiraan yang meluap-luap itu, seperti saudara-saudaraku yang lain, yang telah bergabung bersama Muhammad, lelaki terakhir penerima wahyu Ilahi. Oh Tuhan, bantulah aku.
“Siapa yang masuk ke rumah ku, maka ia akan selamat”. teriakan suamiku tempo hari masih terngiang jelas di telingaku. Bodoh sekali aku, yang tak mempercayai ucapannya di hadapan kaum-ku. Padahal suamiku telah mengetahui kedatangan kaum Muslimin jauh sebelum mereka memasuki kota Mekkah dan menaklukkannya. Bertahan pada harga diri yang salah, telah membuatku buta pada kebenaran cahaya Ilahi. Dengan lantang dan tanpa keraguan, suamiku mengingatkan kaum-ku untuk menyelamatkan diri dari pasukan Muhammad. Tapi aku mencegahnya dengan menyebarkan dusta terhadap seseorang yang seharusnya kutaati karena haknya yang besar padaku. Aku telah membuat kesalahan dengan menghina suamiku sebagai pemimpin kaumnya yang buruk. Saat itu, aku tak terima. Ia memutuskan memeluk Islam dan berdiri bersama pasukan Muhammad yang ku benci. Ia peringatkan setiap orang untuk menyerah dan memeluk Islam bersamanya. Tentu saja aku tak terima. Bukankah selama ini, ia bersama petinggi Quraisy adalah pemimpin yang ajeg mempertahankan agama nenek moyang kami? Apa yang membuatnya berubah seketika. Namun ia tak menyerah dan termakan oleh hasutanku. Ia tetap memperingatkan kaum-ku untuk mengikuti Muhammad sebagai pemimpin baru kami. “Celakalah kalian! Jangan terperdaya oleh ocehan #perempuan itu, sungguh Muhammad telah datang dengan membawa kekuatan yang tidak mungkin kalian hadapi” lalu seseorang dari kaum-ku menginterupsinya “semoga Allah membinasakanmu. Mana cukup rumahmu untuk menampung kami semua.”dan suamiku masih mempertahankan ucapannya seraya berkata” barang siapa yang menutup pintunya maka dia aman. Barang siapa masuk ke masjid maka dia aman.” Setelah mendengar penjelasan suamiku yang sudah lebih masuk akal, lalu mereka berpencar dari kerumunan. Ada yang pulang kerumah dan menutup pintu rumahnya, ada pula yang masuk ke dalam masjid. Aku tak percaya menyaksikan ini terjadi. Mereka bagaikan kerbau yang di cocok hidungnya oleh ucapan-ucapan suamiku. Aku menyesal karena tak turut mempercayai kebenarannya ketika itu. Dan saat Mekkah benar-benar di taklukkan oleh Muhammad beserta pasukan Muslimin. Ada rasa takut yang menghujam sanubariku.
Rasa takut-ku bukan tak beralasan. Tidak serta-merta karena aku adalah seorang Quraisy yang menentang ajaran baru Muhammad. Tapi ini semua karena ku teringat akan apa yang ku lakukan pada Hamzah bin Abdul Munthalib. Dendamku yang membara kepada Singa Allah itu telah menutupi nurani kemanusiaanku. Terbayang-bayang olehku kematian Ayah, paman dan saudara kandungku pada perang Badar. Hamzah telah membunuh Ayah, lalu dengan bantuan Ali bin Abu Thalib ia bunuh juga paman dan saudara lelaki yang sangat ku sayangi. Aku sedih dan kecewa atas kematian mereka. Kesedihan ini menimbulkan dendam kesumat yang membara. Lalu kaum-ku merancang penyerangan balik dengan strategi, pasukan dan alat perang yang lebih lengkap dari sebelumnya. Semua itu kami persiapkan demi membalas kekalahan saat Badar. Setahun kemudian, rencana ini terealisasikan pada perang Uhud. Suamiku yang perkasa, memimpin pasukan Quraisy dan membawa kami para wanita ikut serta ke medan peperangan. Hal ini kami lakukan untuk menyemangati pasukan Quraisy agar mampu mengembalikan harga diri kami yang telah terinjak-injak sebelumnya. Bahkan aku telah menghasut Wahsyi bin Harb, budak milikku yang telah kuketahui kemahirannya dalam melempar tombak, untuk turut dalam peperangan dan menjadikan Hamzah sebagai target utamanya. Jika ia berhasil membunuh Hamzah, maka ku hadiahkan padanya kemerdekaan sebagai budak dan beberapa hartaku. Wahsyi pun tak menyiakan kesempatan emas ini. Apa lagi yang diharapkan seorang budak selain kemerdekaannya yang hakiki.
Gencarnya perlawanan kaum Muslimin membuat kami kewalahan. Entah kekuatan dari mana yang menyebabkan mereka menjadi terlihat banyak melebihi pasukan kami, begitu perkasa dan tak takut mati menghadapi kami. Bayang-bayang kekalahan Badar menghantui kami kembali. Kami pun sempat ingin melarikan diri atas sengitnya serangan pasukan Muslimin. Namun, ketika ada beberapa kelompok yang sedang lengah, kami mencoba untuk kembali melawan. Dan keadaan menjadi berbalik. Kelengahan pasukan Muslimin memberikan celah bagi kami untuk membalas. Sebagian dari mereka sibuk mengumpulkan harta rampasan perang. Oleh karenannya, kami mampu memukul mundur mereka. Kemenangan ini semakin terasa menggembirakanku pada saat itu, karena ternyata Wahsyi mampu menjalankan tugasnya dengan baik. Ia mampu membunuh Hamzah dengan tombaknya hingga menembus ke belakang perut. Aku tak kuasa menahan kegembiraan yang penuh dengan hawa nafsu. Bersama dengan beberapa wanita Quraisy lainnya ku rusak tubuh Hamzah. Ku mutilasi hidung dan kupingnya. Lalu perutnya ku robek hingga terlihat jantungnya. Masih belum terpuaskan oleh rasa benci yang menggelora, aku memakan jantung Hamzah. Sungguh menjijikan perilaku ku saat itu. Tak kuasa ku menelannya, lantas kumuntahkan kembali, sampai-sampai suamiku tak mau bertanggung jawab atas kejadian itu. Aku senang, puas karena kematian Ayah-ku Utbah, pamanku Syaibah dan Saudara laki-lakiku Al-Walid telah terbalaskan. Perasaan senang yang semu. Sesemu keyakinanku pada agama warisan nenek moyang kami dulu. Ya Allah, ampuni aku.
Kini, aku takut darahku tertumpah oleh kaum Muslimin atas kematian Hamzah yang sangat biadab oleh ke jahiliyahan-ku. Sebenarnya dalam hati kecilku, aku membenarkan segala perkataan Muhammad tentang iman dan Islam. Dan perasaan itu semakin kuat kurasakan saat ini. Saat dimana, ada sejumlah kelompok yang berkerumun memuja Tuhannya mampu membuat bulu kuduk-ku merinding. Hari ini hari kedua setelah peristiwa fathu makkah. Penaklukan terhadap Mekkah ini, tak semata-mata merupakan kemenangan kaum Muslimin saja. Karena sejatinya kemenangan ini adalah kemenangan untuk seluruh alam beserta isinya. Inilah visi dan misi lelaki bersahaja itu. Sungguh mulia. Sungguh berat. Dan aku telah menodai kebenaran yang sempurna ini dengan memperturutkan hawa nafsu belaka. “aku ingin mengikuti dan berbai’at pada Muhammad, maka bawalah aku menghadapnya !” pintaku seketika. Suamiku terkejut mendengarnya. Ia mendapati ku selama ini sebagai perempuan yang keras terhadap prinsip, hingga ia berkata padaku “ Sungguh, aku melihat kemarin kamu benci dengan perkataan tersebut?” “Demi Allah, aku belum pernah melihat Allah di sembah dengan sebenar-benarnya di dalam masjid sebagaimana yang aku lihat kemarin malam. Demi Allah, kemarin malam aku melihat orang-orang tidak melakukan selain shalat dengan berdiri, rukuk, dan bersujud.” Bergetar hatiku saat menceritakan peristiwa yang menakjubkan itu. Semua yang kubicarakan pada suamiku terjadi dengan sendirinya tanpa pernah ku rancang sebelumnya. Spontan saja, mengikuti kata hati dan tak dapat ku tahan. “sesungguhnya engkau telah banyak berbuat salah, maka pergilah bersama laki-laki dari kaum-mu.” Ucap suamiku menanggapi.
Tanpa banyak bertanya lagi aku datang pada Umar bin Khattab. Dan Umar menjamin keselamatanku hingga aku berbai’at bersama beberapa wanita quraisy lainnya. Dengan perasaan yang semakin mantab, kukenakan cadar untuk menemui laki-laki terhormat dan termulia sepanjang jaman ini. Berbaris di hadapannya tak mampu mengurangi kecemasanku akan dosa yang pernah ku perbuat terhadap Hamzah. Cadar ini semata untuk menyamarkan perempuan jahiliyah pendosa seperti ku agar tak mendatangkan keburukan seperti keburukan yang pernah kulakukan sebelumnya. Akhirnya tibalah saat-saat mendebarkan bagiku. Lelaki pilihan Allah itu mulai membai’at kami “kalian bai’at aku dengan syarat kalian tidak menyekutukan sesuatupun dengan Allah dan tidak mencuri” aku tak dapat menahan kegundahan tentang perkataannya hingga ku katakan apa yang terjadi padaku sebelumnya “wahai Rasulullah, sesungguhnya suamiku Abu Sofyan adalah lelaki yang sangat kikir. Bagaimana jika aku mengambil sebagian hartanya tanpa dia ketahui?” “semua yang engkau ambil telah ku halalkan!’ ucap suamiku seketika yang berada tak jauh dari kami. Mendengar dialog antara aku dan suamiku, lelaki bersahaja itu tersenyum dan langsung mengenaliku. Ia berkata,“engkau pasti Hindun binti Utbah.” “wahai Rasulullah, segala puji bagi Allah yang memenangkan Dien yang telah dipilih-Nya sehingga bermanfaat bagiku, semoga Allah merahmati anda wahai Muhammad.
Sesungguhnya aku adalah wanita yang telah beriman kepada Allah dan membenarkan Rasul-Nya” tak kuasa lagi segera kuakhiri penyamaranku dengan membuka cadar seraya berkata “akulah Hindun binti Utbah, maka maafkanlah dosaku yang silam, semoga Allah memaafkan engkau” dan ia pun menyambutku dengan penuh keramahan “selamat datang untukmu”. Kemudian ia melanjutkan bai’atnya, hingga ku bertanya padanya “wahai Rasulullah, bolehkah kami bersalaman denganmu? “ia pun menjawab dengan lugas “sesungguhnya aku tidak bersalaman dengan wanita. Perkataanku kepada seratus wanita, seperti perkataanku kepada seorang wanita.” Sungguh di luar perkiraan. Lelaki bijaksana yang ada dihadapanku ini benar-benar menampakkan kemuliaan agama cahaya yang menyinarinya. Ia telah memaafkan orang yang telah memakan jantung sahabat sekaligus pamannya, Hamzah. Tak ada keraguan lagi dalam hati ku untuk memeluk cahaya Ilahi ini sebagai agama baru ku. “Demi Allah, tidak ada di atas bumi ini, penghuni kemah yang aku lebih suka mereka terhina daripada penghuni kemahmu. Sekarang, tidak ada di atas bumi ini, penghuni kemah yang aku lebih suka mereka mulia daripada penghuni kemahmu” ungkapku tulus pada lelaki yang di juluki Al-Amin itu. Lalu ia menjawab “demi yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya semoga kamu begitu pula”.
Sesampai ku di rumah, kurenungi peristiwa yang baru saja kualami. Peristiwa yang membalikkanku ke titik nol. Titik dimana aku sadar siapa diriku dan untuk apa aku ada di dunia ini. Menangislah aku sejadi-jadinya. Betapa aku telah menyia-nyiakan waktuku selama ini hanya untuk sesuatu yang bathil. Sesuatu yang tak ada jaminannya untuk kupertahankan. Lihatlah patung-patung yang berada di sudut rumahku itu. Aku benci pada mereka. Tak ada yang bisa menahanku untuk mengambil kapak di dapur. Kuhampiri sembahan palsu yang telah menipu keimananku berpuluh tahun yang lalu. Yang menyebabkan qalbu ku menadi mati hingga mampu membunuh dengan kejam seorang solihin seperti Hamzah. “kau telah memperdayaiku” teriak ku geram sambil menghantamkan kapak pada berhala menjijikkan di depanku itu. Tamat sudah riwayatnya. Mereka sudah hancur berkeping-keping bersama kejahiliyahanku yang telah kubunuh dan ku kubur. Lelah setelah melakukannya, lelah terhadap kebohongan yang selama ini menopengi kehidupan kelamku. Tapi juga ada semilir kelegaan yang berhembus makin dalam ke rongga-rongga jiwaku. Kebohongan itu telah tergantikan oleh kebenaran iman yang pasti. Yang menjamin kebersihan hati. Sungguh mulia akhlakmu duhai Rasulullah. Tak sedikitpun kau menoreh dendam padaku yang merupakan musuhmu di masa lalu. Kemuliaan ini adalah gambaran dari keyakinan baru yang kau tawarkan pada kami sejak dulu. Begitu indah, begitu benar. Katamu kami semua sama. Yang membedakan kami adalah ketakwaan kami pada-Nya. Tak perduli seberapa kelam masa lalu kami. Baik yang lebih dulu beriman maupun yang kemudian, semuanya memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi kekasih-Nya. Keyakinan yang kau pertahankan itu telah memberikan kesempatan pada kami untuk menafasi kehidupan kami dengan kebenaran. Dan ini telah membuat hati kami lebih lapang dalam menjalani kehidupan ya Rasulullah. Meskipun hingga kini tak sedikit yang masih memanggilku dengan julukan Aklatul Akbad, Wanita pemakan jantung! ***
Allahuma Shalli ala Muhammad, Ya Robbi Sholli Allaihi Wa Sholli….
Sumber:
1. Buku “35 Sirah Shahabiyah”
2. Nisaa’ Haular Rasuuli, Mahmud Mahdi Al-Istanbuli dan Musthafa Abu Nashr Asy-Syalabi.
3. Tahdziibul Asmaa’ wal Lughaat, An-Nawawi
4. Buku “ Tokoh-tokoh wanita di sekitar Rasulullah SAW”, Muhammad Ibrahim Salim
Nukilan hadist:
1. Dari Abdullah bin Az-Zubair ra diriwayatkan: “ketika hari penaklukan Mekkah, Hindun Binti Utbah masuk Islam, dan masuk islam juga Ummu Hakim binti al-Haritz bin Hisyam istri Ikramah didikuti sepuluh wanita Quraisy”
2. Aisyah berkata:”Hindun binti Utbah datang lalu ia berkata;’wahai Rasullullah, dahulu tidak ada di permukaan bumi ini penghuni kemah yang aku lebih suka mereka terhina melebihi penghuni kemahmu. Sekarang tidak ada di seluruh bumi ini penghuni kemah yang aku lebih suka mereka melebihi penghuni kemahmu’ nabi SAW menjawab;’Demi jiwaku yang berada dalam genggaman-Nya, semoga begitu pula dirimu…’ (HR Bukhori dan Muslim)
3. Imam Ath-Thabari berkata : “Hindun menemui Rasulullah SAW sambil mengenakan cadar dan menyamar, sebab perbuatannya terhadap Hamzah, dank arena ia takut Rasulullah SAW menghukumnya atas perbuatan itu. Mualailah Rasulullah SAW berkata kepada para wanita, dan Hindu nada diantara mereka: ‘Kalian bai’at aku dengan syarat kalian tidak menyekutukan sesuatu apapun dengan Allah dan tidak mencuri.
4. Pada hari penaklukan mekkah, hindun binti utbah masuk islam bersama orang-orang perempuan.mereka datang kepada RasulullahSAW yang sedang berada di Al-Abthah, kemudian membaiatnya. Hindun berbicara, maka dia berkata :”wahai Rasulullah, segala puji bagi Allah yang telah memenangkan agama yang dipilih-Nya. semoga hubungan kekeluargaanmu bermanfaat bagiku. Wahai Muhammad, sungguh aku seorang wanita yang beriman kepada Allah dan membenarkan Rasul-Nya” kemudian ia membuka cadarnya dan berkata :”aku adalah Hindun Binti Utbah” Rasulullah bersabda:”selamat datang untukmu”. Hindun berkata:”Demi Allah, tidak ada diatas bumi ini penghuni kemah yang aku lebih suka mereka terhina dari pada penghuni kemahmu. Sekarang, tidak ada diatas bumi ini penghuni kemah yang aku lebih suka mereka mulia daripada penghuni kemahmu”. Lebih lanjut Rasulullah SAW berbicara dan membacakan Al-Quran kepada mereka dan membaiatnya. Diantara mereka Hindun berkata: ”wahai Rasulullah, bolehkah kami bersalaman denganmu?” Rasulullah SAW menjawab “Sesungguhnya aku tidak bersalaman dengan wanita. Perkataanku pada seratus orang wanita seperti perkataanku pada satu orang wanita” (HR. Malik, Tirmidzi, dan Nasai).
[Kak Galuh]