CAHYALOKA.COM – Sejarah mencatat kegemilangan Usamah bin Zaid bin Harist yang telah berhasil memimpin perang melawan pasukan Romawi beberapa abad silam. Ia menjadi panglima perang diusia yang belum genap dua puluh tahun, memimpin orang-orang sekelas Abu Bakar As Shidiq, dan Umar Bin Khattab. Di usia semuda itu ia telah berhasil memenangkan peperangan, dan membawa pulang pasukannya dengan utuh tanpa satu orangpun yang gugur.
Merunut kebelakang pada kisah kesuksesan Usamah bin Zaid, kita akan menemukan sebuah proses pengasuhan turun temurun yang luar biasa dari lingkungan tempat ia tumbuh dan berkembang. Usamah bin Zaid masa kecilnya mendapatkan sentuhan kasih sayang langsung dari Baginda Rasulullah Saw.. Usia yang sebaya dengan cucu Rasulullah, membuat Usamah sempat merasakan kasih sayang yang tulus dari Rasulullah bersamaan dengan Rasulullah mengasuh cucu-cucu tercintanya. Meski Usamah adalah anak bekas hamba sahayanya, namun ia memuliakan Usamah bagaikan ia memuliakan cucunya sendiri. Ia menerima kehadiran Usamah sebagai bagian dari dakwahnya dalam mengasuh anak. Meskipun secara fisik, Usamah jauh berbeda dengan cucunya, namun Rasulullah tak pernah membeda-bedakan, bahkan cenderung menghujaninya dengan kasih sayang yang penuh.
Lahir sebagai anak Ummu Aiman dan Zaid bin Harist membuat keberadaan Usamah semakin istimewa di mata Rasulullah Saw.. Bagaimana tidak, semasa Rasulullah kecil, Ummu Aiman turut mengasuh Rasulullah yang telah bergelar yatim piatu dengan penuh kasih sayang dan perhatian hingga Rasulullah beranjak dewasa. Ayahnya, Zaid bin Harist pun merupakan tangan kanan Rasulullah yang tak perlu lagi diragukan ke-imanannya dalam membantu Rasulullah berjuang.
Pola pengasuhan penuh kasih sayang yang turun temurun ini (Ummu Aiman kepada Rasulullah, lalu Rasulullah kepada Usamah,) membuat Usamah telah memiliki konsep diri yang jelas sejak kecil. Terbentuknya konsep diri ini berhubungan erat dengan adanya pencurahan kasih sayang yang tak terbatas, tumbuhnya perasaan diterima oleh lingkungan terdekat dan sekitarnya dan juga adanya pemberian tanggung jawab. Ketiga poin ini telah terpenuhi pada diri Usamah bin Zaid, sehingga tak mengherankan ia lahir sebagai pemimpin muda pemberani yang cerdas. Belajar pada sejarah, ketiga poin penting tersebut sejatinya masih sangat relevan untuk kita gunakan hari ini dalam mencentak generasi penerus unggulan.
a. Kasih sayang
Setiap kita sudah secara kodrat ingin hidup dalam limpahan kasih sayang. Ketika kita terbentur dengan berbagai masalah pada saat mendidik anak, seringkali kita terjebak oleh pola pikir “aku sudah capek mengasuhmu, mengapa kau tak mau menurut padaku”, yang secara tidak langsung telah membuat jarak antara kita dan anak-anak.
Ada baiknya kita terus mengevaluasi diri untuk memperbaiki kualitas kasih sayang kita menjadi semakin tulus dari hari ke hari. Kasih sayang tak hanya selesai ketika kita mampu memenuhi kebutuhan fisiknya semata, namun juga hingga menyentuh ke dalam hati mereka. Menganggap mereka hanya sebagai tanggung jawab semata akan memberikan beban dalam pikiran yang terus bertambah tanpa kita sadari.
Lain halnya ketika kita memposisikan mereka sebagai hadiah terindah dalam hidup kita, mungkin kita akan lebih “rileks” dan menikmati saat-saat mengasuh dan membesarkan mereka dengan penuh kasih sayang yang tulus. Memaafkan dan mendampingi saat-saat mereka membuat kesalahan tanpa menyalahkannya secara berlebihan, atau bahkan menyudutkan mereka bagai pesakitan adalah refleksi dari kasih sayang yang tulus. Karena cinta yang tulus selalu mampu mengubah sesuatu yang “sumbang” menjadi “merdu”, sesuatu yang “terlanjur” menjadi sebuah “hikmah” menjadi lebih baik.
b. Perasaan diterima
Ketika kita bertemu dengan banyak sekali orang dewasa yang tampaknya mengesalkan, bisa jadi ia telah kehilangan penerimaan saat ia melewati masa-masa dimana ia membutuhkannya dulu diwaktu kecil. Memiliki perasaan diterima keberadaannya adalah momen krusial yang sebaiknya kita ciptakan pada masa kecil anak-anak kita. Sebab anak-anak lahir dengan tidak membawa apa-apa dari rahim ibunya. Ia tumbuh dengan apa yang kita berikan sejak lahir hingga ia dapat menentukan hidupnya sendiri. Perasaan diterima tumbuh dengan memberikan mereka tempat dihati kita disetiap kesempatan, seperti mendengarkan pendapatnya ketika berbicara, memberi dukungan terhadap usaha apa saja yang telah mereka lakukan, menegurnya dengan “hati” saat mereka berbuat kesalahan, memeluknya saat mereka butuh dipeluk, menemani mereka melakukan hal sepele sekalipun, dan sejuta aktivitas lain yang membuat mereka merasa diterima. Semua itu mungkin memang hanyalah proses-proses kecil remeh temeh yang akhirnya justru punya kekuatan besar membentuk mereka menjadi manusia yang tangguh dan menghargai orang lain.
c. Tanggung Jawab
Memberikan kasih sayang yang berlimpah bukan berarti memanjakan. Anak-anak tetap diarahkan untuk bertanggung jawab sejak kecil. Dimulai dengan membereskan mainan sendiri hingga membantu pekerjaan rumah sebagai sebuah tim dalam keluarga sesuai dengan umurnya, merupakan langkah sederhana mengajari mereka bertanggung jawab. Kita tak akan menghilangkan kasih sayang kita kepada mereka hanya karena mengajari mereka untuk mulai bertanggung jawab terhadap hal-hal sederhana. Dampingi dan dukung anak-anak saat mereka memasuki tahap ini. Jika pun dalam pengerjaannya mereka belum sempurna melakukannya, maka dengan kasih sayang yang tulus pendampingan yang kita berikan akan membuat mereka tidak sedang melakukan tugas berat, sebaliknya mereka akan menganggap tanggung jawab ini sebagai bagian dari hidupnya yang positif dan membahagiakan. Anak-anak yang terbiasa dengan amanah dan tanggung jawab sejak kecil, akan tumbuh menjadi pribadi yang mandiri.
Dengan demikian, konsep pengasuhan “Full of Love” ini secara mudah dapat kita terapkan dalam kehidupan kita sehari-hari. Dalam prakteknya memang selalu butuh proses yang tidak sebentar. Namun dengan niat terus belajar menjadi orang tua terbaik hanya karena-Nya, kendala apapun dapat kita minimalisir demi mencetak generasi penerus unggulan. [Kak Galuh]
#Parenting