CAHYALOKA.COM – Istilah stunting akhir-akhir ini marak dibicarakan sebagai isu prioritas nasional. Stunting adalah sebuah kondisi dimana anak balita memiliki panjang atau tinggi badan yang kurang (kerdil) dari anak normal seusianya yang disebabkan oleh kekurangan asupan gizi, terutama di 1000 Hari Pertama Kelahiran (HPK) dan atau bahkan sejak masih dalam kandungan. Menurut data yang dikeluarkan oleh TNP2K (Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan) ditemukan fakta setidaknya 1 dari 3 anak Indonesia yang mengalami stunting.
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2018, angka prevalensi di Indonesia masih di kisaran 30,8% dan akan ditargetkan menuju angka 20% pada tahun 2024 nanti. Mengacu pada peraturan Presiden no. 42 Tahun 2013 tentang Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi, ada 13 Kementerian yang sesuai tugas dan fungsinya melakukan pencegahan stunting.
Mengapa hal ini menjadi begitu penting untuk dibicarakan dan ditangani secara serius oleh seluruh pihak? Ada dua dampak yang ditimbulkan dari terjadinya masalah stunting. Yang pertama, bagi anak dapat menyebabkan secara fisik tidak mampu mencapai tinggi optimal, otak tidak berkembang secara maksimal, rentan terhadap penyakit dan beresiko kurang produktif di masa depan. Yang kedua, dampaknya bagi bangsa yaitu menurunkan produktivitas kerja, menghambat pertumbuhan ekonomi, menghilangkan 11% produk domestik bruto (PDB), mengurangi 10% total pendapatan seumur hidup serta menyebabkan kemiskinan antar generasi (sumber: buku ringkasan stunting TNP2K, 2017).
Sedemikian mengancam dampak yang ditimbulkannya, maka tidak boleh tidak masalah ini harus menjadi permasalahan bersama bangsa yang pencegahannya perlu mendapat perhatian besar dari masyarakat selain telah berjalannya program-program yang diluncurkan pemerintah.
Melalui penelusuran yang terukur dan terencana dapat diketahui bahwa penyebab utama stunting diantaranya adalah kurangnya pemahaman ibu tentang gizi, kekeliruan praktek mengasuh anak, terbatasnya akses ke layanan kesehatan, terbatasnya akses ke makanan bergizi dan terbatasnya akses ke air bersih dan sanitasi.
Sehingga untuk menanggulangi hal tersebut sasaran pencegahan paling penting sesungguhnya tertumpu pada remaja. Sebab remaja yang dilingkupi oleh wawasan dan kesadaran hidup sehat secara fisik dan mental serta mengetahui informasi mengenai pola asuh yang benar maka akan menjadi awal terputusnya mata rantai stunting.
Anak dan remaja harus memiliki kesadaran untuk membiasakan diri mengkonsumsi makanan yang sehat dan bergizi, berolah raga, menemukan potensi diri dan mengasahnya secara maksimal, memiliki keterampilan hidup dan daya juang yang memadai dalam mengatasi masalah yang dihadapi, memiliki kemampuan menolak/menghindar pada tawaran pergaulan sebaya yang buruk (permisif) serta memiliki semangat religiusitas yang tinggi.
Oleh karenanya menjadi tugas semua pihak untuk memberikan kepedulian yang maksimal terhadap anak dan remaja dengan menyediakan berbagai fasilitas yang mendukung proses tumbuh kembangnya menjadi seorang dewasa. Pembentukan kelompok kegiatan anak dan remaja, minimal setingkat RT dan RW yang dikelola oleh warga bisa menjadi salah satu langkah awal yang baik untuk turut andil memperbaiki kondisi bangsa masa selanjutnya.
Siapapun kita memiliki potensi untuk menentukan kemana arah bangsa ini berjalan. Maka tidak bisa tidak, mari kita putus rantai stunting demi mempersiapkan generasi yang sehat dan beradab. (gkw)