CAHYALOKA.COM – Merdekanya kaum perempuan hari ini adalah ketika haknya disejajarkan dengan kaum pria. Baik hak atas pendidikan, pekerjaan, politik bahkan sampai pada tegaknya wilayah privasi atas hidup yang dijalani.
Ramai diperbincangkan, saat perempuan belum mampu berdikari dan menggugat hak-hak kesetaraannya agar bisa terpenuhi, maka perempuan masih dalam kondisi tertindas. Perlu diadvokasi dan juga diselamatkan dari ketertindasannya.
Mari satu persatu kita urai segala bentuk kegaduhan ini dengan menyusuri lorong kejayaan yang menyajikan fitrah kemerdekaan perempuan yang sesungguhnya.
Perempuan sejatinya adalah nama lain dari kasih sayang. Dengan sifat kodrati yang luar biasa ini, bahkan ia mampu menjadi kreator atas baik-buruknya peradaban. Ia ada di garda terdepan dalam memberi sentuhan dunia agar dapat menjadi tempat paling aman dan nyaman sekaligus mampu membuat dunia ini menjadi serupa neraka yang menyiksa.
Sebuah penelitian di bidang psikologi menyatakan setahun pertama masa kehidupan seorang manusia ditentukan oleh terpenuhi/tidaknya sentuhan fisik dan emosional dari pengasuh yang membersamainya selama itu. Jika tercukupi, maka ia akan merasa aman dan berhasil menjadi manusia penuh cinta dalam membina hubungan dengan dunia, jika tak terpenuhi ia akan terluka dan membalas ini dengan membuat luka pada dunia bahkan disepanjang kehidupannya kelak.
Dan, tak ada yang mampu mengambil posisi ini lebih baik lagi dari seorang ibu atau perempuan lainnya.
Apakah laki-laki bebas tugas? Tentu tidak. Dalam hal ini laki-laki berperan sebagai supporting system yang keberadaannya dibutuhkan untuk memperkuat kerja formula “kasih sayang” ini agar manjur secara permanen teraktivasi di tahun pertama pertumbuhan anak-anak.
Jadi perempuan merdeka yang pertama ialah yang bebas mempergunakan fitrah kasih sayangnya pada anak-anak di sekitarnya. Ia mampu melampaui sekat privasinya hingga melebur dalam kekolektifan. Menyadari dirinya sesungguhnya bukanlah dirinya yang sendiri melainkan diri yang memiliki peran berbagi melalui sifat kasih sayang yang dimilikinya. Keadaan ini sejalan dengan “kemaskulinan” Siti Hajar dalam membersamai Ismail sekaligus membersamai sebaik-baik peradaban di Kota tempat manusia terbaik dilahirkan.
Kemudian layaknya laki-laki, Sang Pencipta pun memberikan fungsi berfikir yang sama pada perempuan. Bahkan lebih hebat, konon otak perempuan didesain mampu meng’cover’ lebih dari satu perintah dalam waktu yang bersamaan. Fokusnya bisa banyak alias “multi tasking” dibanding laki-laki yang hanya punya satu fokus (single tasking) di waktu yang sama.
Dengan kapasitas sehebat itu perempuan sangat mungkin membekali wawasannya dari berbagai macam sumber hingga mampu menjadi terdidik dengan mumpuni. Mudahnya akses informasi hari ini adalah jalan mulus bagi perempuan untuk menjadi cerdas tak hanya bagi dirinya sendiri, melainkan dalam rangka menyusun kejayaan peradaban.
Kesadaran ini harus terinstall dengan masif pada perempuan-perempuan yang menginginkan kemerdekaannya. Sehingga perempuan merdeka yang kedua adalah yang mampu memaksimalkan kemampuan berfikirnya untuk menampung wawasan, gagasan dan ide dari semesta untuk dimanfaatkan menjadi pekerjaan ‘multitasking’ dalam mempersiapkan manusia-manusia kuat dan beradab.
Hal ini selaras dengan keluwesan Siti Khodijah (seorang enterpreneur cerdas dan sukses) dan Siti Aisyah (alhlul hadist yang menjadi rujukan banyak pihak dalam menyelesaikan masalah) yang mampu berdikari memaksimalkan potensi yang dimilikinya bukan hanya untuk memajukan dirinya sendiri melainkan untuk memberdayakan orang-orang sekitarnya.
Dan akhirnya kita masuk pada uraian terakhir, dimana perempuan dengan fitrah kasih sayang serta kecerdasan yang dimilikinya sangatlah mampu menjadi merdeka dalam menentukan pilihan-pilihan privasinya secara publik. Sejatinya sifat kasih sayang yang dimiliki perempuan berbanding lurus dengan nilai kekolektifan. Kasih sayang selalu akan mengarahkan pelakunya untuk menebar sifat ini ke seluruh penjuru yang dapat dijangkaunya.
Situasi ini akan semakin lengkap ketika potensi kecerdasan unik yang dimilikinya, digunakan sebagai amunisi untuk membuat pilihan-pilihan privat yang mengarah pada kebijakan publik atas dasar torehan sifat kasih sayang yang melekat padanya.
Kita tidak akan pernah lupa, bagaimana pandainya Siti Asiyah istri Fira’un yang dengan bahasa kasihnya mampu mempengaruhi sang suami untuk mengangkat seorang bayi laki-laki yang hanyut di sungai menjadi anak mereka, ditengah-tengah kebijakan untuk membunuh semua bayi laki-laki di negrinya yang diberlakukan oleh sang suami.
Bahkan diujung hidupnya ia tak gentar mengutarakan pilihan privatnya untuk tetap beriman meski harus mati, ditengah tawaran pengampunan yang sesungguhnya mampu membuatnya menjadi perempuan penggenggam dunia dalam kekayaan yang berlimpah.
Karenanya, perempuan merdeka yang ketiga adalah mereka yang bebas menggunakan potensi yang dimilikinya untuk membuat pilihan-pilihan yang ‘sepertinya’ terlihat privat, namun sesungguhnya pilihan tersebut adalah bertujuan untuk kemashlahatan umat. [gkw]
Wallahu’alam
#perempuan