Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.” (An Nahl: 78)
Permasalahan “Parenting”
Banyak orang tua dan guru yang berusaha untuk mengadopsi ungkapan-ungkapan populer tanpa memahami makna dan filosofi di balik ungkapan tersebut. “Reward danP punishment” seolah dianggap sebagai resep yang jitu untuk mendidik anak, padahal dalam sejarahnya prinsip tersebut telah banyak menimbulkan masalah di dunia industri. Konsep anak adalah bintang yang muncul dari gerakan “self esteem” banyak diadopsi tanpa pemahaman yang mencukupi. Sementara itu gerakan “self esteem” itu sendiri telah menjadi sumber keprihatinan di negara asalnya, Amerika Serikat.
“Reward dan punishment” adalah strategi motivasi yang diterapkan pada awal abad 20 terhadap pekerja pabrik-pabrik baru yang berkembang pesat sejak revolusi industri di Eropa. Menurut konsep ini buruh dianggap sebagai komponen dari mesin ekonomi yang harus dikelola demi kelancaran proses produksi, dan mereka dianggap sebagai “makhluk” yang haus uang dan takut hukuman, karena pada masa itu latar belakang pendidikan mereka rata-rata rendah. Konsep ini sering diasosiasikan dengan istilah lain yaitu “stick and carrot” yang lazim digunakan dalam dunia binatang seperti pacuan kuda atau balap anjing. “Stick” adalah tongkat yang dibawa oleh sang penunggang kuda untuk memukul agar sang kuda memacu larinya, sedang “carrot” adalah iming-iming yang biasanya digantungkan di depan kepala sang kuda agar dikejar. Bagaimana bisa mereka menggunakan konsep yang serupa terhadap binatang dan manusia? Karena menurut pemikiran Barat Sekuler, manusia adalah binatang juga. Mereka menyebut manusia sebagai “human animal”. Anak kita bukanlah buruh apalagi binatang pacuan! Lalu bagaimana cara mendidik anak yang paling baik?
Untuk dapat mengetahui bagaimana sebaiknya kita mendidik anak, kita harus tahu dulu apa tujuan kita mendidik mereka. Untuk mengetahui tujuan kita dalam mendidik anak kita harus tahu terlebih dahulu siapa sebenarnya anak kita. “Anakmu bukanlah anakmu! Mereka adalah putra-putri kehidupan yang merindu!”, demikian kata Khalil Gibran. Apakah maksudnya itu?
Sebagai muslim kita semestinya mengacu kepada Al Qur’an untuk menjawab pertanyaan tersebut. Banyak sekali ayat-ayat Al Qur’an yang menjelaskan hakekat seorang manusia.
Siapakah Anak Kita?
Terdapat satu ayat dalam Al Qur’an yang dapat kita jadikan landasan untuk merenungkan dan memikirkan bagaimana seharusnya kita mendidik anak. Ayat tersebut adalah sebagai berikut:
“ Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi keba-nyakan manusia tidak mengetahui.” (Ar-Rum: 30)
Ayat tersebut menyebutkan bahwa manusia diciptakan menurut fitrahnya dan diperintahkan agar tetap menjaga fitrahnya tersebut. Ayat ini kemudian dijelaskan lebih lanjut dalam Hadist Rasulullah SAW yang berbunyi sebagai berikut:
“Setiap anak dilahirkan menurut fitrahnya, maka hanya kedua orangtuanya lah yang akan menjadikannya seorang Yahudi, seorang Nasrani, atau seorang Majusi”. (Hadist riwayat Bukhari, Juz 1, hlm 1292)
Hadist Rasulullah SAW tersebut menjelaskan peran orangtua yang bernada peringatan, yaitu bahwa perlakuan orangtua terhadap anaknya atau pendidikan yang diberikan orangtua terhadap anaknya memiliki risiko yang dapat menyesatkan sang anak dari fitrahnya. Kita sebagai orangtua “diwanti-wanti” (Jawa) atau diperingatkan agar jangan sampai mendidik anak sehingga justru membuat sang anak melenceng dari fitrahnya. Pendidikan yang benar adalah yang sesuai dengan fitrah sang anak, yang menjaga fitrah anak sehingga tetap lurus seperti ketika mereka dilahirkan. Pertanyaan berikutnya adalah apakah fitrah anak tersebut?
Ibnu Sina menjelaskan bahwa hakekat dari fitrah seorang manusia sebagai makhluk Allah adalah tunduk pada Allah atau Muslim. Hal ini berbeda dengan konsep “Tabula Rasa” yang sering dipahami kebanyakan orang, yang mengatakan bahwa manusia dilahirkan dalam keadaan “netral” atau “kosong”. Karena fitrah manusia adalah Muslim, maka perjalanan hidup manusia di dunia ini adalah dalam rangka “kembali” pada Allah. Allah adalah Al Haq atau Kebenaran, sehingga manusia selalu merindukan kebenaran. Ilmu pengetahuan adalah usaha manusia untuk mendapatkan kebenaran tersebut. Menurut Ibnu Sina, kebahagiaan sejati yang dialami manusia terjadi ketika dia “bertemu” dengan kebenaran. Dalam bahasa psikologi hal ini disebut sebagai “AHA experience”, yaitu ketika seseorang mendapatkan pencerahan atau ide atau ilham yang memberikan jawaban atau solusi atas permasalahan yang dihadapinya. Pendidikan yang baik adalah yang dapat memberikan pengalaman-pengalaman tersebut secara bertahap dan berkelanjutan.
Pada ayat lain dalam Al Qur’an, Allah menyebutkan bahwa fitrah manusia yang suci tersebut tidaklah manifest dalam kesadarannya, karena ketika manusia lahir Allah membuatnya lupa dan tidak tahu apa-apa.
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.” (An Nahl: 78)
Dengan memperhatikan kondisi tersebut maka inti dari parenting adalah yang pertama-tama, mengingatkan. Karena manusia pada awalnya adalah suci dan memiliki sifat lupa maka pendidikan pada intinya adalah mengingatkan manusia untuk kembali ke jalan yang benar. Sarana untuk mengingat kembali tersebut adalah pendengaran, penglihatan dan hati.
Mengingatkan
Mengingatkan adalah kata kunci atau prinsip pertama dalam pendidikan anak atau #parenting. Artinya, pendidikan bukanlah “memaksakan”, ataupun “mengarahkan”, yang sering dimaknai dengan mengarahkan sesuai keinginan orang tua atau keinginan masyarakat. Pendidikan anak atau “parenting” juga bukan dalam rangka “mencetak” pribadi-pribadi anak yang sesuai dengan keinginan orang tua maupun masyarakat, karena “cetakan” tersebut akan ketinggalan jaman begitu anak tumbuh dewasa. Pada intinya yang perlu kita lakukan pada anak atau anak didik adalah sesuatu yang tidak temporer. Yang kita harus lakukan pada anak atau anak didik adalah mengingatkan mereka untuk berpegang pada sesuatu yang abadi dan universal, yaitu Kebenaran.
Usaha untuk mengingatkan tentang kebenaran bukanlah usaha yang mudah, karena dunia ini penuh dengan godaan dan cenderung menyesatkan. Godaan-godaan duniawi biasanya bersifat temporer dan hanya berlaku dalam waktu yang singkat. Sesuatu yang menyeret pada kelalaian itu biasanya sekedar mode, karena banyak orang melakukannya, namun hanya dalam kurun waktu tertentu. Termasuk di dalamnya adalah gaya hidup masyarakat yang berubah-ubah, atau kebijakan pemerintah yang berubah-ubah dalam bidang pendidikan. Kalau kita mengikuti dan hanyut dalam mode-mode tersebut maka anak akan terombang-ambing.
Pendidikan maupun parenting pada prinsipnya adalah melindungi anak dari berbagai macam ancaman dunia yang akan menyeret mereka ke jalan yang sesat. Seperti halnya para Nabi dan Rasul yang bertugas untuk meluruskan kembali umatnya yang melenceng dari jalan yang lurus. Jalan yang lurus itu adalah jalan yang sederhana, namun sifatnya abadi dan universal. Itulah jalan kebenaran. Oleh karena itu kita perlu memahami apakah kebenaran itu.
Kebenaran
Sebagai muslim kita sudah sangat mengenal doktrin-doktrin tentang kebenaran, yaitu Al Qur’an dan Hadist. Pertanyaannya adalah bagaimana kita dapat mendidik anak kita agar selalu berpegang pada Al Qur’an dan Hadist, dan bagaimana implementasinya dalam kehidupan sehari-hari.
Untuk memahami strategi mendidik yang mengarah pada Kebenaran tersebut, kita perlu ingat bahwa ada tiga “instrument” untuk belajar yang sudah dikaruniakan Allah pada semua manusia, yaitu: pendengaran, penglihatan, dan hati. Artinya dalam mendidik anak, kita harus selalu “menyuapi” pendengaran, penglihatan, dan hati mereka dengan kebenaran.
Pendengaran adalah instrumen untuk menangkap kata-kata. Sebagai orang tua atau guru kita harus menjaga kata-kata kita karena kata-kata itu akan mempengaruhi jiwa anak atau anak didik kita. Katakanlah yang benar meskipun itu pahit. Berkata-kata lah dengan bijak dan lemah lembut, karena melalui pendengaran anak-anak akan belajar tentang sekelilingnya, dan akhlak mereka akan terbentuk.
Penglihatan adalah instrumen yang akan menangkap perilaku dan peristiwa yang terjadi di sekeliling mereka. Anak-anak akan menirukan apa yang mereka lihat. Oleh karena itu berperilakulah yang benar, bertindaklah sedemikian rupa agar Anda dapat menjadi teladan bagi anak-anak Anda.
Hati adalah instrumen untuk menangkap cinta. Ketika kita salah bicara atau membuat kesalahan dalam berperilaku, berkomunikasilah dengan hati. Jagalah hati kita untuk tetap mencintai anak kita, Jangan sampai kekesalan dan kemarahan kita menumbuhkan benci dalam hati kita. Cinta akan memancar dari hati kita dan akan dirasakan oleh hati anak kita. Cinta adalah komunikasi dari hati ke hati tanpa perlu kata-kata dan tanpa harus ditunjuk-tunjukkan dengan perbuatan yang tidak wajar atau berlebihan.
Mungkin dalam prakteknya kita akan menghadapi situasi yang sedemikian rupa sehingga amarah sudah tidak tertahankan lagi. Rasanya sulit sekali untuk merasakan cinta itu. Lalu bagaimana? Ingat bahwa putus asa adalah dosa, dan Allah bersama orang-orang yang sabar. Sabar adalah prinsip ke tiga dalam mendidik anak. Dalam Al Qur’an surat Al Anfal ayat 28, Allah mengingatkan “bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar”.
Dalam situasi lain mungkin kita merasa sudah berusaha maksimal namun belum melihat hasil yang diinginkan. Mungkin kita merasa kemampuan kita terbatas dan sudah tidak mampu lagi untuk menyampaikan kebenaran pada anak kita. Dalam situasi yang seolah sudah di luar batas kemampuan kita tersebut kita harus ingat bahwa Allah akan menolong kita jika kita bersabar.
Kesabaran
Sabar adalah sesuatu yang mudah dikatakan tetapi tidak mudah untuk dilakukan. Sabar adalah suatu pilihan sikap sekaligus perilaku yang mengandung muatan emosi yang kuat. Kadang secara kognitif kita sadar bahwa kita seharusnya bersabar, namun dorongan emosi yang sedemikian kuat dapat menyebabkan kita berperilaku yang tidak sesuai dengan pemahaman kita. Emosi harus dikendalikan dengan keimanan.
Untuk dapat betul-betul bersabar kita harus memiliki keimanan. Keimanan bahwa Allah Maha Bijaksana dan Allah akan memberikan jalan keluar terbaik bagi permasalahan kita. Dalam kaitannya dengan pendidikan anak, kita harus yakin bahwa anak kita, hati anak kita, ada dalam genggaman Allah, dan Allah akan menunjukkan jalan yang benar. Dengan dilandasi keimanan tersebut maka Insya Allah, kita akan mampu bersabar.
Ada beberapa orangtua yang merasa tak berdaya untuk “mengendalikan” anaknya kemudian bersikap masa bodoh lalu seolah memutuskan hubungan orantua-anak. Kadang mungkin dengan ungkapan “sudah saya ikhlaskan dia di jalan yang sesat”. Sikap-sikap yang bernada putus asa tersebut adalah indikasi dari hilangnya kesabaran. Hilangnya kesabaran berarti kegagalan dalam mengemban tugas sebagai pembimbing dan penjaga anak yang sudah diamanahkan pada kita.
Sabar juga berlawanan dengan tergesa-gesa. Kadang dalam mendidik anak kita ingin serba cepat; cepat pintar, cepat lulus, cepat besar, cepat mandiri, cepat sukses, dan lain sebagainya. Dalam ketergesa-gesaan tersebut sering, sengaja atau tidak, kita memaksakan kehendak kita terhadap anak. Kadang kehendak kita tersebut dilakukan demi memenuhi “tuntutan zaman”. “Tuntutan zaman” sesungguhnya adalah salah satu bentuk mode atau gaya hidup sesaat yang sering menyilaukan kita. Biasanya ketika kita tergesa-gesa untuk mengikuti tuntutan zaman, kita akan mengalami kekecewaan di kemudian hari karena tuntutan zaman tersebut akan selalu berubah.
Keterjebakan kita dalam memaksakan kehendak pada anak-anak kita untuk mengikuti tuntutan zaman menyebabkan kita lupa pada hakekat pendidikan anak, yaitu menjaganya agar tetap pada fitrahnya yang suci. Anak menjadi bahan eksploitasi untuk kepentingan orangtua, demi nama baik orangtua, agar dapat dibangga-banggakan di depan umum. Anak diperlakukan layaknya seperti “investasi” untuk menjamin kehidupan orangtua di masa depan. Biaya besar dikeluarkan untuk mendidik anak dengan harapan akan mendapat “return” yang menguntungkan. Jika hal ini terjadi maka anak akan tumbuh menjadi pribadi yang jiwanya kering dari kasih sayang. Padahal ketika hati menjadi keras, kepandaian dan kesuksesan tidak akan bermanfaat, tapi justru akan menimbulkan kerusakan yang lebih parah. Oleh karena itu, untuk memperkuat kesabaran kita, kita harus selalu mengingatkan anak-anak kita dengan kasih sayang, atau kelembutan hati dan perlakuan.
Kasih Sayang
Kasih sayang adalah bagaikan Matahari yang menyinari Bumi tanpa pamrih. Kasih sayang adalah ketulusan kita dalam mendidik anak demi kebaikan anak itu sendiri. Kasih sayang adalah keridhoan kita mengemban amanah yang diberikan Allah. Anak adalah amanah, titipan, bukan hak milik. Ketika orangtua merasa memiliki anaknya, mereka akan tega menyiksa anaknya sendiri.
Mengingatkan dengan kasih sayang artinya tidak ada kepentingan pribadi orangtua terhadap perilaku anaknya. Ketika kita mendidik anak dengan kasih sayang artinya tidak ada sakit hati yang disebabkan oleh perilaku anak, apapun perilaku tersebut. Kasih sayang juga berarti bahwa kita sudah memaafkan dan selalu memaafkan kelakuan sang anak, dan tidak pernah menolak ketika anak kembali. Dengan adanya kasih sayang, hati orangtua terbuka lebar, bagaikan samudera luas, bagi anak-anaknya.
Dengan kasih sayang anak akan memiliki “trust” yang kuat, dan mereka akan tabah dalam menghadapi berbagai tantangan kehidupan. Pribadi yang kuat adalah yang tumbuh dalam lingkungan yang penuh dengan kasih sayang.
Dengan kasih sayang, anak akan selalu memiliki harapan untuk kembali “pulang” dari “pengembaraannya di negeri asing”. Kasih sayang memiliki kekuatan terapeutik terhadap hati anak-anak yang mungkin telah tersesat dan tergoda oleh tipuan kehidupan dunia. [Bagus Riyono]