CAHYALOKA.COM – SITI HAJAR, wanita istimewa yang menggoreskan arti emansipasi sesungguhnya dalam sejarah Tauhid. Dilahirkan sebagai budak tak lantas membuat derajatnya menjadi hina, justru melalui beliau Allah memperkenalkan Ketauhidan tak hanyalah milik bangsawan ataupun kaum rahib yang memang telah terlahir dalam lingkungan yang mendukung. Tauhid dapat dimiliki sebagai harta sekaligus kebebasan terbesar seorang insan yang menyerahkan dirinya hanya pada Allah semata, meskipun insan tersebut hanya berstatus sebagai budak sekalipun. Pada kisah Siti Hajar, Allah juga menggambarkan begitu indah dan mulianya Tauhid yang juga bisa ditembus oleh kebebasan gender (baca: emansipasi). Karena bagi Allah, yang termulia di MataNya adalah yang memiliki Ketauhidan sempurna tanpa keraguan, tak perduli apakah itu #perempuan ataupun laki-laki.
Dinikahi oleh Nabiullah Ibrahim As. atas anjuran Siti Sarah adalah dengan niat agar Nabiullah Ibrahim As. dapat memiliki keturunan sebagai penerus risalah. Sebelumnya, mungkin bermimpi pun tidak Siti Hajar akan diangkat derajatnya begitu tinggi menjadi istri seorang Nabi. Namun Allah telah menganugrahkan kemuliaan ini padanya sebagai hadiah, yang membuat jalan hidupnya menjadi lebih berarti dari sebelumnya yang sekedar sebagai budak hina biasa. Belum henti kegembiraannya akan anugrah tersebut, ia diberi lagi anugrah mulia lainnya berupa kelahiran Ismail yang kelak oleh Allah juga angkat derajatnya menjadi seorang Nabi, layaknya ayahanda Ibrahim As.. Kebahagiaan yang begitu lengkap sebagai seorang wanita yang telah memiliki keluarga utuh, membuat Siti Hajar tak henti-hentinya bersyukur atas nikmat yang telah Allah berikan padanya.
Namun demikian, sudah Sunatullah ketika seseorang telah diangkat derajatnya oleh Allah, maka ia akan diberi ujian untuk mengetahui apakah kemuliaan tersebut dapat bertahan dalam jendela Tauhid yang merupakan fitrah setiap insan yang tercipta di dunia ini? Dengan bermaksud lebih memuliakannya lagi, Siti Hajar diletakkan pada situasi, dimana ia harus berpisah dengan suami tercintanya di tengah padang gersang tak berpenghuni hanya bersama anaknya Ismail yang masih bayi. Tentu keadaan ini bukanlah keadaan yang mudah bagi seorang istri yang baru saja mendapatkan anugrah sebuah keluarga yang utuh. Ia akan tinggal di padang gersang itu tanpa suami yang juga sudah tentu tidak akan menafkahinya lahir batin selama ia dan Ismail berada di padang tersebut. Tapi sudah pasti Allah meletakkan Siti Hajar pada situasi tersebut karena telah melihat kapasitas keimanan Siti Hajar yang istimewa.
Dengan penuh ketaatan, Siti Hajar menerima perpisahan yang mengharukan dengan suaminya tanpa bantahan sedikitpun, juga tanpa permintaan untuk bercerai karena pada kondisi tersebut ia tak akan dinafkahi suaminya dalam jangka waktu yang tidak sebentar. Kesetiaannya pada Allah Azza wa Jalla dan pada suaminya Nabiullah Ibrahim As. telah membentuknya menjadi wanita yang melaksanakan emansipasi sesungguhnya. Dengan jerih payah dan tanggung jawabnya sebagai seorang bunda, ia berusaha mencarikan air bagi Ismail yang sedang dahaga di tengah padang gersang nan tandus. Dengan penuh ketaatan dan ketakwaan ia berlari-lari antara bukit Safa dan Marwah, berharap ada oase ataupun insan lain yang lewat memberinya keajaiban setetes air. Namun harapannya tak segera terjawab. Bukanlah Siti Hajar jika harus menyerah begitu saja pada keadaan. Mentalnya yang kuat dan terlatih saat ia sebagai budak yang didera berbagai kesulitan membuatnya menjadi seorang wanita yang tangguh. Kembali dengan keimanan yang penuh, ia berlari lagi diantara kedua bukit kecil itu hingga tujuh kali. Karena ia tak juga mendapatkan apa-apa, akhirnya ia kembali pada Ismail untuk melihat keadaan buah hati tercintanya itu.
Allah begitu mencintai Siti hajar atas emansipasi Tauhid yang dilakukannya dengan penuh ketaatan dan ketakwaan. Pada saat Ismail terus menangis dan Siti hajar baru saja menghampirinya dari ikhtiar mencarikan Ismail air, Allah langsung menurunkan pertolongannya kepada ibu dan anak tersebut dengan memancarnya air tepat dibawah kaki Ismail yang sedang menendang-nendang pasir karena kehausan. Dan jadilah sumber mata air itu memberi kehidupan tidak hanya pada buah hatinya Ismail, melainkan seluruh kafilah-kafilah yang melewati padang tersebut, hingga padang yang dulunya gersang tak berpenghuni menjadi ramai diduduki kafilah-kafilah yang membentuk peradaban baru di sekitarnya.
Keberhasilan Siti Hajar membangun sebuah peradaban di sepanjang padang gersang tersebut, merupakan bentuk keberhasilan emansipasi yang hanya bisa dilakukan oleh wanita setangguh dan sekuat Siti Hajar saja. Atas keberhasilan emansipasi Tauhidnya itu, Allah mengembalikan dirinya pada suami tercinta dan mengabadikan perjuangan mencarikan Ismail air sebagai sebuah momentum atas ibadah umat Islam hingga kini dalam ritual Ibadah Haji dan Umrah.
Sangat spesial, karena ibadah Haji ini diletakkan Allah sebagai rukun Islam yang kelima, menggambarkan bahwa Haji adalah ibadah dimana seorang Muslim telah bertauhid, menjalankan sholat, puasa dan berzakat sebagai kemapanan ibadahnya. Kemampanan ibadah inilah yang akan membentuk pribadi seorang Muslim yang tak sekedar melakukan rukun-rukun tersebut sebagai ritual belaka, melainkan terimplikasikan melalui ahlakul karimahnya dalam kehidupan sehari-hari. Jika ke-empat rukun sebelum Haji telah terlampaui secara lahir dan bathin maka pelaksanaan Haji adalah sebagai simbol kesempurnaan ibadah rukun Islam yang menandakan bahwa insan tersebut telah mapan secara spritual dan lahiriah.
Dan Siti Hajar pun ikut berperan secara monumental dalam Emansipasi Tauhid tersebut. Walauhualambishowab. [gkw]